Lelaki tua itu membuka sampul surat dan memakai kacamata dengan segera. Surat itu baru saja diterimanya dan tertera nama pengirimnya, seseorang yang seminggu lalu tiba-tiba datang. Ya, seseorang, yang memperkenalkan diri sebagai... “Dua puluh enam tahun sudah kami, aku dan ibu, terpisah dengan ayah. Selama itu ibu tak pernah menceritakan hal apa pun tentang ayah, selain bahwa kami dirampok dan ayah disandera perampoknya. Sementara kami, aku dan ibu, diusir perampok yang menyandera ayah, dari rumah ayah. Untuk seorang anak kecil berumur dua tahun sepertiku ketika peristiwa itu terjadi, jelas tak ada yang bisa diingat, kecuali seiring pertumbuhanku, aku mulai sadar bahwa tak ada ayah dalam kehidupan aku dan ibu, sebagaimana seharusnya. Sejak itulah selalu kudengar jawaban yang sama dari ibu tentang ayah. Kami dirampok, ayah disandera perampoknya dan kami diusir dari rumah ayah oleh perampoknya. “Kenapa ibu tak laporkan ke polisi?” aku pernah bertanya. “Polisi tak bisa menangkapnya, perampok itu kuat sekali, bahkan terlalu kuat,” kata ibu. “Polisi kan punya pistol, bu?” “Pistol polisi tak bisa mengalahkannya.” Aku penasaran sekali, seperti apa kekuatan perampok itu sampai polisi yang punya pistol pun tak bisa mengalahkannya. “Suatu hari nanti, aku harus membebaskan ayah, bu,” begitu tekadku. “Kau harus menjadi orang yang kuat lebih dulu,” kata ibu lembut. “Lebih kuat dari polisi?” “Ya...” Aku harus menjadi orang kuat dan membebaskan ayah. Itu adalah tekad yang setiap saat dan setiap waktu terus kuperkokoh. Ayah harus diselamatkan karena kata ibu, ayah adalah orang baik. Ayahku yang baik. Dua puluh enam tahun sesudah peristiwa itu, aku diijinkan ibu untuk datang pada ayah. Aku masih tetap dengan tekadku untuk membebaskan ayah. Sayang, keadaan ayah yang sebenarnya terasa mentertawakan semua mimpiku. Ayah tidak seperti yang kupikirkan, hidup merana karena disandera perampok, tapi hidup dalam keceriaan di rumah besar dan keluarga besarnya, di mana aku tak pernah melihat sedikit pun di wajahnya, pernah ada aku dan ibu dalam hidupnya. Kami tak pernah dirampok dan ayah disandera sebagaimana cerita ibu. Ayah tergoda seorang perempuan dan memilih mengusir kami untuk menikah dan hidup bersamanya. Perampok adalah kata yang dipilih ibu untuk perempuan yang merenggut suaminya dan membuat suaminya tega mengusirnya. Aku mentertawakan semangatku untuk membebaskan ayah yang kini terasa konyol. Satu hal yang ingin kukatakan bahwa, melihat ayah setelah dua puluh enam tahun peristiwa diusirnya kami adalah hal yang pernah sangat kunanti-nanti, tapi kini menjadi hal paling kusesali. Tapi aku bangga dengan ibu, ia tak berkata lebih tentang ayah, kecuali membiarkan aku menyusun kekuatan untuk melihat sendiri bagaimana ayahnya. Salam kami untuk perampok dan penyandera ayah.” Lelaki tua itu merasa udara menekan dirinya kuat-kuat. Perampok. Kata itu terasa menyadarkan dirinya. Sementara, sayup-sayup terdengar desah perempuan yang tengah mendesah menyesapi nikmat, perempuan yang tengah berasyik masyuk dengan lelaki lain tanpa mempedulikan suaminya. Itulah perempuan yang disebut perampok dalam surat itu. Perempuan yang pernah membuatnya tergila-gila, tapi kini menjadi ulat yang memakan lembaran-lembaran hatinya. Lelaki tua itu teringat lagi dengan pengirim surat ini, yang bertahun-tahun bermimpi bisa membebaskan ayahnya. Tapi itu tak akan bisa diharapkan lagi.