Kampanye di Media Sosial
.
Dianing Widya
novelis dan pegiat sosial, @dianingwy
.
Keberadaan media sosial tidak hanya memudahkan orang untuk saling berinteraksi, tapi juga menjadi media untuk mempengaruhi. Salah satunya seperti yang dilakukan tim pemenangan para calon presiden yang akan bertarung pada 9 Juli nanti. Mereka terus menampilkan "iklan-iklan" yang bisa mendongkrak popularitas atau tingkat keterpilihan calonnya. Apa pun kegiatan positif yang dilakukan oleh calon presiden, langsung dikabarkan pada detik itu juga melalui media sosial.
Ironisnya, mereka (para pendukung) tidak hanya mengabarkan sisi positif calon yang didukungnya, tapi juga menciptakan fitnah dan desas-desus yang menghantam calon lain. Akibatnya, kita tidak banyak tahu apa saja program calon tersebut. Bahkan, tim media sosial mereka (yang dibayar oleh tim pemenangan calon) ataupun pendukung di luar struktur tim resmi (tak dibayar), lebih banyak mengobarkan "perang" lewat media sosial.
Anggota "tim bayaran" maupun "tim gratisan" ini nyaris lebih banyak tenggelam dalam perdebatan yang tak produktif. Mereka lupa bahwa dirinya adalah "wakil" dari calon yang mereka dukung. Dalam relasi ini, sesungguhnya apa yang dilakukan oleh tim sukses (termasuk tim media sosial) merepresentasikan apa yang dipikirkan sang calon. Ia merupakan perpanjangan tangan sang calon.
Boleh saja sang calon menyatakan tidak tahu-menahu soal aktivitas tim media sosial atau relawannya. Namun publik tidak perlu tahu apakah yang dilakukan itu improvisasi mereka sendiri atau atas "petunjuk" sang calon. Dengan kata lain, publik tidak mau tahu terhadap proses karena yang mereka tahu adalah hasil atau apa yang terlihat dan berada di permukaan.
Walhasil, apa yang muncul di hadapan publik, termasuk di media sosial, akan dilihat masyarakat sebagai hal yang sesungguhnya terjadi. Tidak mudah memilah apakah sang calon "tahu" atau "tidak tahu" ihwal aktivitas pendukungnya. Sejauh tidak ada sanggahan dari sang calon, apa yang dilakukan oleh tim suksesnya bisa dilihat sebagai sesuatu yang telah disetujui oleh calon tersebut.
Maka, ketika ada tim media sosial dan relawan salah satu calon yang menyerang relawan calon lain, bisa ditafsirkan itu dilakukan atas kehendak-atau setidak-tidaknya persetujuan-calon tersebut. Hubungan "yang diwakilkan" dengan "yang mewakilkan" memang merupakan sebuah ikatan yang dibingkai oleh satu visi dan tujuan. Mereka bergerak berdasarkan komando, bukan sekehendak hatinya.
Dalam konteks inilah, terbuka kemungkinan bagi calon yang merasa diserang untuk melapor ke polisi, terutama jika menghadapi fitnah-fitnah yang serius. Memang, melakukan hal itu amat melelahkan dan menguras energi. Namun tidak ada salahnya jika satu-dua kasus dilaporkan sebagai bagian dari pembelajaran bagaimana berdemokrasi yang sehat.
Sebab, jika masih dalam tahap pencalonan saja sudah membiarkan pendukungnya melakukan aktivitas yang melawan hukum dan menodai demokrasi, apa jadinya jika sang calon itu terpilih nanti? Apa yang bisa diharapkan dari pemimpin yang menertibkan pendukungnya saja tidak bisa? Bagaimana kelak jika ia terpilih?
Jadi, kampanye hitam, termasuk lewat media sosial, tak bisa dipandang sebelah mata. Itu menjadi cermin yang memantulkan seperti apa nanti wajah Indonesia.