Penulis Tahan Banting
MELADENI tukang hardik sampai menuju ranah debat kusir benar-benar buang waktu. Proses kreatifitas menulis bisa melorot sampai semata kaki. Atau bahkan bisa pula sampai sesumbar berhenti nulis karena sempat terhujani vkritik. Mirip tokoh protagonis ala Nikita Willy usai dijahati tokoh antagonis. Menangis di sudut kamar, berderai menghamba simpati. Tak jarang kita temui penulis tipe sakit hati. Yang i8kmenulis curhatan membeberkan kekesalan dan kerisuhan hati. Tulisan bisa dibuat apik dan elegan, tapi kerap kali ofensif menggencarkan tuduhan. Paragraf hanya beberapa, tapi komentar bejibun hingga ratusan. Alih-alih ingin mengkritik, apa daya malah terlihat sarkastik. Lengkap dengan jenis-jenis komentar defensif yang beraroma premanisme dan infantil. Mungkin saja imbisil. Jangan tersungging dulu. Tidak generalisir. Menulis itu berbagi, bukan persaingan mendapatkan tempat ’strategis dan tinggi’ di halaman depan Kompasiana. Bukan pula ajang cari musuh. Seseorang dan sekelompok orang harus benar-benar bisa santai dan nggak panasan. Kalaupun kena tuding, coba aja adem. Kalau dibalas, bakal tambah panas. Beruntung saya punya teman-teman yang baik dan bijaksana. Baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Inbox pun masuk saat rusuh terjadi pada malam “itu”. Dia menyarankan saya untuk tidak meladeni karena mereka hanya ingin membuat kegiatan menulis saya berhenti total di kompasiana. Saya sepakat, saya tidak mau berhenti karena serangan konyol. Sempat menulis dua artikel yang berisi ‘pembelaan’, tapi sengaja saya hapus kembali karena saya sadar saya telah berdrama. Saya tidak mau memberikan sajian murahan pada orang lain. Mengemukakan kekesalan lewat tulisan rasanya kok “nggak banget”. Saya juga sudah lama join di Kompasiana sejak 2010, bahkan sempat ikut meramaikan halaman depan dengan meongan saya. Artinya saya merasa lebih berhak bertahan di Kompasiana. Ini seperti rumah, dulu saya pernah meninggalkannya, tapi kemudian kembali. Soal ada tidaknya yang baca atau yang kasih jejak, itu juga bukan tujuan utama saya. Lihat saja, dari empat tahun yang lalu teman saya masih 600-an orang. Artikel mejeng pun kadang sepi, toh banyak teman-teman Kompasianer yang sama kayak saya. Yang penting nulis. Itu simpelnya. Jadi beruntung seseorang bisa melewati itu semua dan tak ada yang berubah. Suka tidak suka itu hal yang wajar. Tapi di mata orang yang nggak suka, apa yang kita tulis bisa jadi dijadikan senjata ampuh untuk melumpuhkan mental kita. Nulis saran disangka sok bijak, nulis nasihat disangka cengeng, nulis kritik disangka bengis. Balas komen/merespons disangka antikritik. Tapi selalu saja ada yang berpikir kalau beberapa jenis tulisan dianggap narsisme dan sejenisnya. Bahkan kritik no mention bisa jadi setajam pisau cukur. Mengiris telinga, membuat hati kejet-kejet. Tak jadi soal. Seseorang pernah bilang kalau tulisan sudah dipublikasi ke media, itu artinya sudah jadi milik bersama. Siap dikritisi. Termasuk saat komentar kita jadi lahan segar untuk kena ’semprot’. Contohnya saat komentar selentingan seseorang malah dijadikan senjata ampuh untuk membuat nama seseorang itu ‘tercemar’. Padahal ranah komentar yang sifatnya lebih pendek berbeda dengan artikel yang ditulis jauh lebih banyak, jelas, dan gampang akses. Tapi tak jadi soal kalau baik buruk seseorang dinilai dari komentar dan tulisannya. Lumrah-lumrah sajalah. Kalau kau berhenti, kau akan mati sebagai pengecut. Kalau kau melenggang saja seperti kucing hitam di atas genteng. Demi kucing tiga warna yang imut, itu keren! Seseorang harus punya prinsip begini, biarlah mereka membicarakan kita di tulisan mereka. Itu hak mereka toh? Seberhak kita untuk tidak ikut nimbrung di artikel dia, terutama jika jenis tulisannya memang bukan membangun, tapi cenderung ‘destruktif’. Tak usahlah ikut komen, sebab buat apa? Hanya bikin rusuh dan bikin mood ilang. Untuk yang satu ini bisa jadi kita lebih memilih untuk tak ambil pusing atau tak mau tahu. Kalaupun mereka nimbrung di komentar artikel kita dan kita menduga kalau komentar tersebut sebagai pancingan agar kita kembali masuk ke kolam debat kusir, ya cuekin aja. Balas aja komentar dari pengkomentar yang lebih apresiatif dan ramah. Dan satu hal lagi, kita nggak sendirian. Banyak yang mengalami masalah serupa. Terutama penulis opini di dunmay. Jadi wajar banget. :D Istilahnya mah kita harus siap sama seseorang yang suka rusuh sendiri kalau nemu sesuatu yang tidak sesuai standar atau berseberangan dengannya. Segalanya serba terserah. Kembali saya seret kalimat mantep orang Sunda: Daek Heug, Teu Kajen. Aing-aing, Sia-sia. Kumaha abdi, kumaha anjeun.. Sok weh mun dipoyok dilebok mah da urang mah rek terus ngaramakeun. :D Just keep writing even though a lot of dogs barking at you, There’s more cats meowing … Miaw …