Cerek yang Bisa Berunyi Seperti Peluit
Oleh: Darsan Supeno | 08 July 2013 | 23:13 WIB
Dua puluh tahun yang lalu, beberapa hari setelah menikah, saya mengajak istri saya ke supermarket. Bisa dibayangkan pengantin baru masuk pasar! Pastilah terlalu banyak barang yang ingin dbeli dibanding budget yang tersedia. Untungnya kami tahu diri, sadar dari strata ekonaomi macam apa kami berada. Kami telah siap mengahdapi kondisi psikolgis yang bakal manimpa kami saat menyusuri lorong di antara rak-rak barang sebuah toko peralatan dapur. Kami pun cukup hanya dengan saling senyum jika melihat barang bagus tapi harganya tak terjangkau. Kadang aku melihat wajah istriku sangat mengingnkan suatu barang dan aku sadar tidak cukup hanya dengan saling senyum , maka aku pun mempererat genggam tangan atau mengusap punggungnya.
Salah satu barang yang masuk katagori beyond the reach adalah sebuah cerek yang bisa berbunyi seperti peluit saat air mendindih. Istriku sih biasa biasa saja ketika pertama menemukannya di atas rak pajangan. Mungkin karena telah berulang kali setiap keinginannya hanya diakhiri dengan saling senyum.
“Cantik….” aku mengagumi barang yang kini di tangan istriku. Istriku tersenyum dan aku balas tersenyum juga. Seperti biasa setelah saling senyum istriku pun menaruh barang itu ke tempatnya semula.
“Sebentar, Nda,” kataku sambil meraih cerek dari tangannya,( Nda itu asal kata dari adinda, panggilan sayang untuk istriku waktu pengantin baru dulu).
“Mas suka?”
“Kamu?” aku balik bertanya. “Berapa sih harganya?”
“Tuh….” Istriku menunjuk label harga yang menempel dekat pegangan cerek. “Mahal dikit . Tapi kalau Mas suka ambil aja”
“Kamu sendiri gimana? Suka gak?”
“Kalau aku sih pasti suka” katanya sambil tertawa renyah.
“Oke, kalau begitu kita ambil aja barang ini.”
“Karena aku suka?”
Aku menatapnya sambil tersenyum. “Bukan….! Bukan karena kamu suka tapi karena kita suka. Oke?” aku menegaskan.
“Kalau karena kita berarti ada aku di sana,” istriku berkata dengan tawa berderai derai. Kemudian ia mengeluarkan daftar belanjaan dan membacanya dengan gerakan bibir.
“Kalau kita beli cerek ini, ada barang penting yang tidak terbeli mas,” kata istriku dengan tanpa suara tawa lagi.
Aku mengambil daftar belanjaan dari tangannya. Istriku benar. Semua barang yg ditulis itu penting dan harus ada sebelum kami memasuki rumah kontrakan. Semua yang ditulis dalam daftar itu adalah barang prioritas utama. Semua barang itu istimewa karena kegunaannya. Sementara istimewanya si cerek itu cuma karena ia bisa bunyi seperti peluit. Sebetulnya itu sih bukan cuma, sebab kubayangkan bunyi cerek itu bisa membangunkan aku saat aku malas bangun di Minggu pagi. Kemudian, seperti iklan di televise, istriku akan membuatkanku kopi dan mengantarnya langsung ke kamar.
“Gini, aja, Mas. Kita cari dulu barang barang yang ada dalam daftar. Nanti kalau jika semua barang sudah didapat dan ada sisa uang kita beli cerek ini,” kata istriku dengan bijak.
Aku mengangguk-angguk sambil meletakan barang di tempat semula. Istriku memperetat genggaman tangannya dan secara tersembunyi dari penglihatan orang ia mencium leherku. Aku menatapnya dan kami saling tersenyum. Cerek kami tinggalkan dan kami segera sibuk mencari barang barang keperluan untuk mengisi rumah baru, maksudku rumah kontrakan baru.
Singkat cerita, seperti yang Anda duga, uang kami habis untuk membeli barang kebutuhan yang ada dalam daftar belanjaan. Tidak ada sisa untuk cerek yang bisa berbunyi seperti peluit itu.
“Lain kali ya, Mas,” kata istriku menghibur. Aku terharu. Ini peran terbalik. Mestinya istriku yang meminta dibelikan perabotan, aku yang menghiburnya karena belum bisa membelikan. Ah, siapa tahu istriku lebih menginginkan barang itu, dan aku bersandiwara menjadi peran yang kecewa agar istriku tidak kecewa.
“Ya, lain kali. Bulan depan, ya Nda?” jawabku.
Adindaku tersenyum manis. Senyum untukku tentunya bukan untuk sopir angkot yang sedang menghentikan mobilnya di depan kami. Kami naik angkot dan pulang. Tidak ada lagi pembicaraan cerek yang bisa berbunyi seperti peluit.
Apakah bulan berikutnya cerek itu terbeli? Kami sudah tidak mengingat cerek itu lagi. Tepatnya tidak ada kesempatan untuk mengingat jika yang dimaksudkan adalah menindaklanjuti dengan membelinya. Gaji kami pas pasan. Istriku meninggalkan pekerjaannya setelah menikah karena harus pindah kota mengikuti aku.
Bulan depannya lagi? Tidak juga. Dua bulan bersamanya aku belajar banyak tentangnya. Oh, ya, belum aku ceritakan bahwa kami menikah hanya satu bulan setelah dipekerkenalkan oleh saudara. Ia perempuan maniak terhadap apa yang disebutnya skala prioritas. Setiap habis gajian, uang dimasukan dalam beberapa amplop. Ada amplop beras, amplop, minyak, amplop listrik, termasuk amplop bakso yang kalau dibuka tidak lebih dari jatuh dua kali pergi ke warung bakso dalam sebulan. Apakah istriku seorang yang pelit? Kurasa tidak. Ia juga bikin amplop untuk sodakoh.
Kembali ke soal cerek yang bisa berbunyi seperti peluit. Ya, kami masih sering membicarakannya. Apalagi jika kebetulan pergi ke toko perabot. Kami tak lupa untuk mencari barang itu, mengangkat dan menimang nimang untuk kemudian kembali meletakannya ke tempat semula. Terakhir adalah ritual kami, saling tatap dan saling senyum. Demikian terus berlangsung, bulan demi bulan tahun demi tahun. Cerek yang bisa berbunyi seperti peluit itu tidak juga kami beli. Mulanya tidak terbeli, tapi kemudian sengaja tidak kami beli. Terus terang saja, gajiku sebulan sekarang bisa untuk membeli 200 cerek yang bisa berbunyi seperti peluit itu. Belum lagi penghasilan istriku.
Aku dan istriku telah bersepakat untuk tidak membelinya karena ingin menikmati makna keinginan dalam ketidakcukupan di masa lalu. Sekarang kami sering pergi ke toko perabot hanya untuk melihat cerek yang bisa berbunyi seperti peluit. Kami akan saling tatap dan saling senyum. (Yogyakarta Juli 2013)