Budaya menulis itu kreatif.
Kalau mata, otak, dan dengkul saya tidak melarang, sehari saya pengen menulis lima sampai sepuluh cerpen. Lumayan banget honor yang kita terima dari koran/majalah/tabloid ibukota.
‘Larangan’ berikutnya adalah sayembara novelet yang digelar sebuah majalah wanita yang kini sedang saya ikuti.
Tetapi, menulis tidak sehat bila penulis tidak jujur.
“Jujur” dalam artian kita memaksakan diri untuk menulis lantaran hanya pengen menulis karena merasa wajib mengisi kolom K atau kolom-kolom lain di media mana saja, tanpa pengendapan di kepala sebagai bahan baku yang bakal dituang untuk dinikmati banyak orang, menghibur sekian ribu kepala.
Apapun itu, sebagai bagian dari kesenian, mengarang (baca: menulis) telah dilakukan dengan baik oleh ANU.
Saya kira bagus-bagus saja kok apa yang dia tuangkan. Sebagai salah satu pendukung FXFI, saya cermati tulisan itu dengan tuntas. Sebagai editor, saya mencerna alinea terakhir itu malah bijak.
Mari berekspresi, dan kita pertanggungjawabkan artikel/tulisan kita di mata masyarakat. Kalau bisa jangan FXFI melulu topiknya, plus jilbab dan seterusnya. Biarkan orang lain merenda masa depannya, dengan cara dia sendiri. Dari sisi psikologi, anak usia 16 tahun jangan terlalu digempur dengan berbagai retorika, apalagi dihantam dengan keras sehingga dia tersungkur KO. Kasihanilah FXFI sebagai manusia.
Maaf ANU kalau saya salah-salah kata. Salam damai ya.