.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Allah, Liberty and Love
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
In Allah, Liberty and Love, Irshad Manji paves a path
for Muslims and non-Muslims to transcend the fears that stop so many of us from
living with honest-to- God integrity: the fear of offending others in a
multicultural world as well as the fear of questioning our own communities.
Since publishing her
international bestseller, The Trouble with Islam Today, Manji
has moved from anger to aspiration.
She shows how any of us
can reconcile faith with freedom and thus discover the Allah of liberty and
love—the universal God that loves us enough to give us choices and the capacity
to make them.
Among the most visible
Muslim reformers of our era, Manji draws on her experience in the trenches to
share stories that are deeply poignant, frequently funny and always revealing
about these morally confused times.
What prevents young
Muslims, even in the West, from expressing their need for religious
reinterpretation?
What scares non-Muslims
about openly supporting liberal voices within Islam?
How did we get into the
mess of tolerating intolerable customs, such as honor killings, and how do we
change that noxious status quo?
How can people ditch
dogma while keeping faith? Above all, how can each of us embark on a personal
journey toward moral courage—the willingness to speak up when everybody else
wants to shut you up?
Allah, Liberty and Love is the ultimate guide to becoming a
gutsy global citizen.
Irshad Manji believes
profoundly not just in Allah, but also in her fellow human beings.
.
.
.
.
.
.
.
Semaleman habis baca
buku Irshad Manji, NGGA LUAR BIASA
ternyata pemikirannya tentang konsep substansi kemerdekaan manusia atas tubuh
yang melampaui hal-hal batasan spiritual, ketika cinta hadir dalam manusia,
maka serentak itu pula pilihan menjadi sebuah keberadaan yang mutlak perlu,
ketika cinta dibatasi atas pilihan-pilihan maka ditemukanlah relasi kekuasaan
yang membungkam atas pilihan dan melenyapkan cinta.
Konsepsi
cinta Irshad Manji ini dalam kebebasan dan Tuhan, pada awalnya menurutnya
seperti Kiekergaard yang mempertanyakan ‘dimanakah letak keadilan atas hidup
dalam penentuan Tuhan yang ia teriakkan di padang Jutland’.
Lalu
setelah pilihan-pilihan itu membentuk eksistensi maka terjadilah ‘being’ suatu
keberadaan.
Ketika
Keberadaan menjadi ‘ada’ di situlah muncul esensi.
Esensi
dalam cinta Irshad Manji didasarkan pada tiga hal : Pencarian,
Penemuan-Penemuan dan Pemahaman, soal pertama adalah ‘jatuh cinta, soal kedua
adalah ‘kesesuaian’ dan soal ketika adalah ‘rindu’ yang dibatasi waktu.
Dalam
cinta yang sejati tak ada ‘ruang’ dan tak ada pembedaan, cinta itu lorong
rahasia diatas segala rahasia.
Sebenarnya
Irshad Manji bicara dalam cinta yang sungguh, di sini kita bisa menemukan
sebuah cinta baik yang dipahami oleh Nietsczche sebagai ‘cinta’ membebaskan
dalam pengertian ‘Manusia dibebaskan dulu dari kelemahan-kelemahannya’, “Cinta”
dalam konsepsinya Gibran “Cinta adalah kepakan sayap yang terluka dan patah”
disini cinta membentuk keluasan hati atau “Cinta” yang dipahami Shakespeare
‘Cinta tanpa Pertanyaan, tanpa identitas, biar diganti namanya sekalipun, mawar
akan tetap berbau harum - ‘rose by any other name would smell as
sweet’ ‘.
Lalu
ujung-ujungnya adalah ‘cinta’ membentuk sesuatu yang ada, karena itu Irshad
Manji membundel rangkaian pemikirannya itu pertama kali adalah Tuhan, Kebebasan
dan Penemuan atas cinta.
“Kemerdekaan
itu laksana burung yang terbang di langit, membentangkan sayapnya, bercicit
cuit dengan gembira, ia menuju pada kelapangan hati. ‘kemerdekaan itu dirimu
yang dibebaskan dari rasa ketakutan-ketakutan”.
Kata
Bung Karno dengan nama samaran Bima di Surat Kabar Oetoesan Hindia, 1928.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
BUKU INI NGGA ENAK
DIBACA DAN NGGA PERLU DIBELI…………..
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.