“Kakek
kok belum datang juga, mi”, Ryan merajuk ke maminya karena yang ditunggu-tunggu
belum juga muncul.
Dwi
menoleh ke anaknya yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya. Diusap-usapnya
kepala anak kesayangannya.
“Mungkin
kena macet. Tahu sendiri kan kalau hari Senin. Sabar sedikit saja ya, Ryan.
Kamu tunggu saja di ruang tengah sambil nonton film kartun kesayangan kamu”,
Dwi merayu anaknya yang sudah tak sabar menanti kedatangan sang kakek.
Ryan
pun kembali berjalan gontai ke ruang tengah sementara Dwi memperhatikan anaknya
dengan penuh kasih sayang. Dilongoknya tulisan di laptop yang masih tak
bergerak ke halaman selanjutnya. Terkuras sudah semua apa yang ada di kepala,
tapi kok mentok sampai di halaman ini.
Dibuka-bukanya
buku diary peninggalan Mayla, mamanya. Di buku itu lengkap tercatat semua
peristiwa-peristiwa yang terjadi di keluarga Dwi, mamanya, kakeknya hingga ke
kakek uyutnya. Tak ada ide dari buku diary itu. Kosong.
Pandangan
dialihkan ke tumpukan surat-surat kusam yang bertumpuk di sudut meja. Hmm, ada
satu surat yang menarik perhatiannya. Kiriman dari ayah suaminya entah untuk
siapa.
Dibacanya
dengan seksama surat itu. Surat yang cukup panjang ternyata, ditulis hingga
lima lembar kertas. Pada lembar kedua dijumpai tulisan yang menarik.
@
Hari
masih pagi tapi kulit siapapun pasti akan terasa terbakar dalam sengatan surya
yang menyala garang, sungguh pagi yang tak seperti biasanya.
Seorang
pemuda duduk di sudut halte menunggu bus yang belum juga lewat, sementara ia
merasa aneh saat melihat di sudut lainnya ada dua orang gadis bercadar hitam
duduk bersisian saja. Sedikit peluangnya menyaksikan pemandangan ini di hari
lain, pun di tempat lain di sudut-sudut ibukota. Gadis itu menengok ke pemuda
hanya untuk sopan santun lalu kembali asyik berbicara berdua, lagi.
Tak
lama datang kakek tua yang badannya tampak bersih, hanya saja baju yang
dikenakannya sepertinya sudah termakan usia, sama seperti pemiliknya. Duduklah
si kakek di samping pemuda, mengambil jarak dua jengkal agar terlihat santun.
Si
kakek tersenyum ramah yang disambut hangat oleh sang pemuda.
“Megu”,
begitu jawab sang pemuda ketika si kakek bertanya.
“Sambil
menunggu bus yang belum juga lewat, maukah Megu mendengar sedikit kisah dari
kakek?”, si kakek melanjutkan obrolannya yang dijawab dengan anggukan dari Megu.
Salah
seorang gadis menengok ke arah Megu agak lama, lalu kembali ngobrol berdua
dengan serius. Gadis yang satunya tampak menggenggam tablet model terbaru.
Melihat
Megu kadang menengok ke sudut halte, si kakek tampaknya menjadi heran sambil
mengernyitkan dahi lalu geleng-geleng kepala. Pemuda yang aneh, pikirnya.
“Sepertinya
ada yang menarik di sudut halte ya?”, si kakek bertanya sambil menyelidik
gerangan apa yang menjadi perhatian Megu sejak tadi.
“Oh,
eh, ah......., tak ada kek”, Megu tersipu-sipu malu lalu melanjutkan, “Silahkan
kek, apa yang ingin kakek ceritakan. Megu ingin dengar”
Kakek
pun mulai bercerita.
@
Cerita
yang dituturkan kakek ini konon menjadi kisah yang banyak diceritakan di
mana-mana di sudut-sudut kota di Arab Saudi. Pada waktu itu, ketika Gus Dur
masih menjadi mahasiswa di Madinah, Gus Dur sering datang ke sebuah warung
makan dan membeli kepala ikan yang mestinya sudah dibuang. Gus Dur
ditanya tentang maksud pembelian kepala-kepala ikan tersebut.
"Saya
memiliki sepuluh ekor anjing yang harus diberi makan"
"Di
Madinah, memelihara seekor anjing saja sudah repot sangat. Lalu bagaimana bisa
memelihara sepuluh ekor anjing? Karena itulah seorang pemilik warung bersimpati
kepada Gus Dur yang ingin membeli kepala ikan. Dengan senang hati dia
memberikan kepala-kepala ikan itu secara gratis kepada Gus Dur", terang si
kakek sambil menyeka dahinya yang penuh berpeluh keringat sebesar jagung.
Maka
Gus Dur pun kemudian selalu membawa kepala-kepala ikan kepada teman-temannya
untuk dimasak ketika sedang tiba giliran memasak. Gus Dur
selalu merahasiakan kepada teman-teman ketika ditanya, dari mana dia
mendapatkan kepala-kepala ikan tersebut.
Rahasia
Gus Dur dan kepala ikannya ini baru terbongkar setelah Gus Dur meninggalkan Madinah.
Pada waktu itu, ada seorang pemilik warung bertanya kepada teman-teman Gus Dur
yang kebetulan sedang makan di warung tersebut.
"Ke
mana teman kalian yang katanya memiliki sepuluh ekor anjing? Biasanya dia
selalu meminta kepala-kepala ikan buat anjing-anjingnya. Kok sudah lama tidak
kelihatan?", tanya si pemilik warung.
"Ooo...
oo..... oo......, jadi begitu rupanya yaaa....... Hmmmm..... Anjing-anjing dan
tuannya sudah balik ke Indonesia, Pak", jawab teman-teman Gus Dur sambil menahan
dongkol dan tersenyum kecut, sekecut-kecutnya. Senyum yang paling kecut sejak kali
pertama mereka menjejakkan kakinya di kota ini.
@
Tepat
setelah si kakek selesai bercerita, bus yang ditunggu Megu pun datang. Segera Megu
naik sementara si kakek duduk saja di halte.
“Cerita yang menarik. Tapi sepertinya
yang aku tahu kisah ini terjadi di Baghdad bukan di Arab Saudi”, Megu
bergumam dalam hati ketika sudah ada di dalam bus.
Dua
gadis bercadar hitam yang duduk di sudut halte, dari ekor matanya mengikuti
kepergian Megu naik ke bus, hingga bus itu menghilang ditelan aspal jalan yang
mengepulkan debu-debu putih keabu-abuan.
“Pemuda
yang aneh, berbicara sendiri saja sejak tadi”, begitu ucap salah seorang gadis
bercadar hitam. Lalu dicatatnya tentang pemuda itu di tablet yang sejak tadi
digenggamnya. Lumayan dapat sebuah cerita unik di kota yang sedang menggeliat
mencari sosok sang gubernur ideal. Entah
cerita apa lagi yang nanti diperolehnya, pikirnya.
Sementara
itu si kakek berdiri dan berjalan bolak-balik sepanjang halte, memeriksa dengan
seksama. Tak habis pikir si kakek, apakah yang menjadi perhatian Megu. Tak ada
siapapun selain ia dan Megu di halte itu.
@
“Itulah
kisah yang aku dengar dari seorang kakek, tadi pagi saat menunggu bus di
halte”, Megu menjelaskan kisah Sepuluh Anjing Arab Saudi itu kepada Fatma ibunya.
“Adakah
orang lain selain kakek itu di halte?”, sang ibu bertanya menyelidik sambil
terus mencatat, entah apa yang dicatat di buku tulis yang tebal itu. Covernya
saja cukup antik, terbuat dari bahan kulit sintetis berwarna coklat gelap.
“Ada
dua gadis bercadar hitam. Mereka mengenakan burka, khas wanita-wanita Arab”, Megu
menjelaskan.
“Sepertinya
tak banyak gadis-gadis berpakaian seperti itu di sini khan?”, pertanyaan yang
makin menyudutkan Megu dengan kisahnya pagi tadi. Tiap selesai bertanya Fatma
lalu menulis lagi di buku tebal itu.
“Iya
juga sih”, jawab Megu agak lama.
“Ya
sudah, kau makan saja sana. Masih ada nasi goreng buatan adikmu di meja makan”,
si ibu mencairkan kepala Megu yang mungkin sudah mulai mengeras.
“Aku
ingin kuliah di Canberra saja, bu. Ambil Magister Management”, jawabnya saat si
ibu bertanya kemana pilihan Megu selepas wisuda sarjananya besok.
Fatma
menutup buku tebal itu lalu dimasukkan ke dalam kotak kayu berukuran sedang.
Tak boleh sekejap pun Megu menyentuh kotak kayu. Fatma melarang keras.
Rupanya
Megu tak mau melanjutkan kuliahnya di Al-Azhar Mesir. Ia tak ingin mengikuti
jejak ayahnya, ia ingin mengikuti kata hatinya. Kuliah di Australia. Tak ingin
juga ia studi ke Swedia, walau ada rekan karibnya di sana.
Dwi menutup laptopnya. Sedikit demi
sedikit cerita tentang ayah suaminya lengkap sudah. Masih beberapa hal yang
masih menjadi potongan-potongan terserak dan harus disatukan.
@
Tok.
Tok. Tok.
Pintu
pun dibuka. Seorang bocah lucu menyembul dari balik daun pintu yang terbuat
dari ukiran kayu jati.
“Mami
kamu ada, Ryan?”, Megu bertanya lembut.
“Mamiiiii.........
Kakek Megu datang”, teriak Ryan kegirangan sambil berlari ke dalam.
Tak
lama Dwi pun muncul menyambut kakek Megu lalu mereka duduk di ruang tengah.
“Ibram
telat pulang. Ada sisa pekerjaan yang belum kelar katanya”, begitu Dwi
menjelaskan ke kakek Megu yang menanyakan kabar Ibram yang belum juga pulang.
Kakek
Megu hanya menghela napas pendek-pendek saja.
“Hey,
Ryan. Sini duduk dekat kakek”, dipangkunya Ryan yang hari ini tampak makin
sehat saja. Diperhatikannya mata Ryan, warnanya coklat muda.
Kakek
Megu masih tak mengerti dari mana Ryan mendapat gen mata coklat muda itu.
“Mau
dengar cerita kakek tentang Sepuluh Anjing Sydney?”, tanya kakek Megu yang
dijawab anggukan penuh semangat oleh Ryan.
Dwi
hanya menghela napas pendek-pendek melihat kelakuan ayahnya yang biasa
dipanggil Kakek Megu oleh Ryan anaknya, lalu Dwi melangkah ke dapur menyiapkan
makan malam.
“Kisah yang selalu diceritakan kepada
siapa saja yang ada di dekatnya, hanya berbeda setting”, Dwi kini
menghela napas panjang sambil membuat kopi kesukaan kakek Megu.
Sambil
membawa kopi yang masih mengepul, ditengoknya laptop mungil yang kini sudah
terbuka di meja bulat dekat jendela, juga tumpukan surat-surat kusam itu.
Tinggal beberapa halaman lagi novel itu akan selesai sudah. Masih banyak bolong
di sana sini. Judul sementara yang disiapkan oleh Dwi adalah Kisah
Megu dan Dunia Paralelnya. Entah judul apa yang akan disematkan kalau
novel itu sudah jadi nantinya.