Sejarah manusia, sejarah sebuah bangsa, kaum,
suku, puak, kampung dan masyarakat sama halnya dengan tumbuhan yang kita tanam.
Sama halnya dengan alur alam, sama halnya dengan air laut. Dia pernah terang pernah
juga gelap. Pernah meraih kejayaan, juga mengalami kemunduran.
Mungkin pernah, di suatu waktu, ke kampungmu
datang seorang Ulama. Bahkan seharusnya seorang ulama itu harus benar-benar
asli putra daerah, orang tempatan. Tapi tidak apalah, sebab, siapa pun dia,
ketika memiliki ilmu agama yang mumpuni dan mampu memberikan respon terhadap
masalah umat, patut sekali dia diberi predikat ulama.
Suatu waktu ke kampungku hijrah seorang Ulama
dari kampung asalnya. Mengenai, kesahajaan dalam hidup ulama tersebut, hanya
dapat saya serap informasinya dari cerita-cerita, walaupun, di usia senjanya,
saya pernah dididik selama sembilan tahun lebih. Anda bisa jadi lebih faham
tentang kesederhanaan dan kesahajaan dalam hidup. Saeutik
Mahi Loba Nyesa. Ya,
wajar bisa menjadi sebuah alasan, sebab keadaan lingkungan sosial tidak terlalu
dijejali oleh tuntutan keinginan untuk
memiliki sesuatu karena memang sesuatu itu tidak ada. Itu cara berpikir
kita saat ini.
Namun yang saya ingin katakan adalah tentang
sebuah cahaya. Ulama tersebut dengan sikap kesederhanaannya mampu mempengaruhi
pikiran orang-orang. Anda pernah
mengalami hal seperti ini, merindukan kehadiran seseorang saat orang itu tidak
ada. Apa sebab? Sebetulnya bukan hanya menginginkan kehadiran
sosoknya, berupa raga, namun hati itulah yang menjadi penggerak sampai adanya
kerinduan kepada seseorang. Hati adalah sopir yang mengendarai badan ini.
Adanya badan yang dikendalikan oleh hati pun
menjadi sesuatu yang benar-benar membuat orang-orang menjadi nyaman, merasa
keberadaan hidupnya diakui bahwa mereka memang ada. Nah, ceritanya, hal
eksistensi manusia sebagai individu ataupun mahluk sosial mewujud jika di sekeliling
mereka tersinari oleh cahaya. Cahaya inilah yang selalu dirindukan oleh setiap
orang ketika kegelapan menjadi hal nyata di sekeliling mereka.
Ketika ulama tersebut meninggal, seolah
cahaya itu padam. Dan orang-orang hidup seperti di sebuah ruangan pengap dengan
tanpa satu titik pun sinar. Tentu saja, sepercik api akan lebih mereka rindukan
dari apa pun. Lantas, dicari-carilah cahaya tersebut. Dengan kejernihan cara
pandang apa pun, orang akan lebih menghendaki lingkungannya diterangi oleh
cahaya dari pada harus hidup pengap, meraba-raba dalam kegelapan.
Di dalam Kitab Suci, entah berapa banyak
dalil yang mengupas tentang cahaya ini. Seperti: Allah akan dan telah mengeluarkan
orang-orang beriman dari kegelapan ke cahaya. Dalam setiap dalil
tersebut dipertegas dengan sebuah proses. Artinya sangat tidak mungkin jika
tanpa usaha dari kita cahaya tersebut akan didapatkan.
Tidak jauh berbeda, dengan proses penciptaan
sesuatu yang bisa mengeluarkan cahaya. Misalkan, jika seorang ulama
dianalogikan sebagai sebuah pelita yang bisa menghasilkan cahaya, maka di sana
harus ada proses kreatif dari ummat untuk mencari dan menghasilkan sumber
cahaya tersebut. Bukan wujudnya melainkan pancarannya.
Kita sering mengutuk PLN ketika tiba-tiba di
malam hari listrik dipadamkan. Sumpah serapah terhadap kinerja PLN pun keluar
tidak terbendung. Tidak sedikit yang berkata: PLN Payah! Sebenarnya bukan
karena PLN-nya yang payah, ini disebabkan karena kita memang membutuhkan
cahaya. Dan satu percik api yang dihasilkan oleh korek api ketika lampu padam
akan menenangkan kita, membuat kita merasa lega. Sampai sumpah-serapah kepada
PLN pun bisa diminimalisir.
Proses kreasi kita mana yang telah mengarah
kepada penciptaan sumber cahaya? Di sebuah masyarakat akan lebih mudah
mendapatkan ganti seorang Ketua RT daripada seseorang yang bisa menggantikan
kepergian seorang ulama. Artinya bukan karena ulama ini langka, sebab di sana
ada tugas berat, dan ada kreasi lain yang ikut campur tangan dalam penciptaan
sumber cahaya ini.
Sebab lain bisa jadi karena: memang tidak
mungkin semua orang harus menjadi ulama, ulama bukan profesi, semakin diangkatnya
rasa kebanggaan manusia dalam mempelajari ilmu-ilmu agama. Untuk point terakhir
memang terdengar sangat transcendental. Hanya saja, faktanya memang demikian.
Anehnya, sampai saat ini selalu saja kita memilah-milah antara ilmu agama
dengan ilmu umum. Saya pertegas, tidak ada itu pemisahan rigid terhadap ilmu.
Ini hanya disebabkan oleh cara pandang kita saja dalam memberi tafsir terhadap
ilmu.
Nah, hanya ulama-ulama yang diberi cahaya
oleh Sang Sumber Cahaya lah yang akan menjadi penerang ummat. Ulama yang tidak
akan mengajak ummat untuk membenci penganut keyakinan lain, ulama
yang tidak akan menceramahi ummatnya dengan apa yang tidak dan belum dia
kerjakan. Saya selalu malu dengan kalimat yang dicetak tebal
ini, sebab sampai detik ini, belum genap puluhan persen apa yang saya ucap dan
tulis sejalan dengan apa yang saya kerjakan.
Rusak dan semakin gelapnya tatanan sosial
karena memang sumber penerang itu telah tiada. Apa yang diperbuat ummat ketika
seorang yang mengaku ulama pewaris para nabi mengajak umat untuk membenci orang
yang belum bisa melakukan kebaikan. Kita selalu membuat dua kutub dalam
kehidupan ini, tapi celakanya, kita terlalu ambisi untuk memaksakan agar kutub
yang kita tempati menyerang kutub yang lainnya, pun sebaliknya. Rasulullah
pernah dilempari batu oleh Suku Thaif, ada alasan sejarah mengapa Rasul tidak melawan?
Ada yang memiliki alasan sebab waktu itu Rasul belum memiliki kekuatan secara
politis untuk melawan. Nah, penafsiran seperti ini yang menjadi penyebab
rusaknya pemahaman umat terhadap moralitas Agama. Sebab, landasan berpijak
agama bukan berada di atas fondasi dendam, kekuatan politis, balas membalas.
Sila bandingkan dengan sejarah Rasulullah ketika di Madinah. Di dalam Quran dan
Hadits yang saya tahu, Agama sama sekali tidak mengajarkan agar cahaya
dinyalakan dengan ujung pedang, kecuali oleh nyalanya hati, kasih sayang kita
kepada sesama manusia.
Tugas berat memang mencari sumber cahaya
ketika lingkungan kita sudah teramat gelap.