.
.
.
.
.
.
.
.
Gerimis di pagi
itu mengusap daun-daun pohon yang berjajar rapi di tepi jalan. Noda yang
menempel pada lembaran daun itu luruh tersapu rintik yang semakin kerap. Jalan
setapak berkelok dipenuhi bercak-bercak liatpada genangan air hujan menjebak
kaki-kaki orang yang melintas di jalan itu. Tepat di ujung jalan setapak
terdapat rumah kecil yang beratap genting dari bahan baku tanah liat. Dalam
rumah tersebut tinggallah sebuah keluarga yang teridiri dari suami, istri dan
kedua anak buah dari perkawinannya beberapa tahun silam.
.
.
.
.
.
Pagi masih
berkabut tebal. Matahari belum kunjung tiba di langit yang tertutup gumpalan
mendung. Akan tetapi, Bang Kumis tetap berangkat ke areal pertambakan sambil
memanggul jaring di punggungnya. Kelokan jalan setapak yang licin sedikit menggoda
perjalanannya ke tempat itu. Tubuh Bang Kumis terhuyung dan hampir saja
terjerembab di genangan air berliatsaat kakinya tak terkendali melintasi jalan
setapak.
.
.
.
.
.
Kerlip bara
rokok terlihat dari mulut mungil yang dipenuhi kumis. Asapnya mengepul laksana
kereta api tempo dulu yang berbahan bakar batu bara. Tangkas langkahnya
mempercepat lajunya hingga sampai di sebuah dangau yang dibangun di pematang
tambak. Jaring ia letakkan di dangau itu. Tak lama kemudian ia masuk ke dalam
tambak yang airnya seperut orang dewasa.
.
.
.
.
.
Ikan-ikan
peliharaannya berlompatan menghindar dari terjangan Bang Kumis. Ia berjalan
menyusuri air yang berubah keruh. Bang Kumis merasa was-was saat melihat
sebagian ikan di tambaknya terkulai lemas. Ada beberapa ekor ikan menggelapar
kemudian timbul tenggelam tertelan ombak. Setelah melihat kondisi ikan
peliharaannya seperti itu, dengan cekatan Bang Kumis mengambil sekarung pupuk
lalu disebarkan ke seluruh penjuru tambaknya untuk menetralkan warna air keruh
yang diduga sebagai penyebab klegernyabeberapa ikan di tambaknya.
.
.
.
.
.
Seekor, dua
ekor ikan yang sudah mati dan timbul di permukaan air tambak ia ambili dengan
membawa besek. Setelah penuh, besek itu diangkat ke pematang kemudian
dibawa ke dangau. Julaiha, istri Bang Kumis, sudah menunggu di dangau dan siap
membantu suaminya tercintanya yang sudah hampir sejam berendam dalam tambak.
.
.
.
.
.
Matahari remang
merayap di langit kelam. Bang Kumis beserta Julaiha yang berada di dangau
berbicara serius tentang nasib ikan-ikannya yang dipanen sebelum saatnya.
Setelah selesai berbincang-bincang, Julaiha menghidangkan pepiring nasi dengan
lauk ikan bandeng pada untuk suami tercinta. Dengan lahap Bang Kumis menyantap masakan
istrinya. Setelah menghabiskan makanan yang dihidangkan istrinya, Bang
Kumis pun mengambil pisang sebagai cuci mulut. Kumis tebal yang mengelilingi
bibirnya agak menghambat keasyikannya menelan pisang.
.
.
.
.
.
”Pak, sudah
siang. Mari kita pulang sebelum anak-anak pulang sekolah!” ajak istrinya.
Bang Kumis tak
menolak ajakan istrinya. Akhirnya kedua sejoli itu pun beranjak pulang melewati
pematang tambak yang dipenuhi pohon pisang.
.
.
.
.
.
Rumah kecil
di tepi jalan setapak terlihat lengang. Dinding-dindingnya banyak yang
berlubang. Bahkan di bagian belakang rumah itu masih terlihat sisi-sisi
rumahnya yang belum dipasang dinding bambu. Andaikan ada pencuri atau orang
yang berniat jahat untuk memasuki rumahnya, maka orang itu akan dengan leluasa
keluar masuk rumahnya. Kalaupun ada pencuri yang masuk rumah tersebut, ia pun
akan sia-sia karena tidak ada perabot rumah yang berharga tersimpan di dalam
bangunan sederhana itu.
.
.
.
.
.
Ketika Bang
Kumis beserta istri belum sempat membuka pintu rumah, tiba-tiba dari arah jalan
setapak terdengar suara anak-anaknya yang bergirang pulang dari sekolah. Mereka
menenteng sepasang sepatunya yang sengaja dilepas agar tidak kotor terkena liat
yang memenuhi jalan menuju ke rumahnya.
“Assalamualaikum,
Bapak, Ibu!” ucap anak-anaknya.
“Waalaikum
salam!” jawabnya.
Lantas mereka
menjabat tangan orang tuanya sambil mengecupnya. Kemudian mereka masuk ke
rumahnya yang jauh dari keramaian warga.
***
.
.
.
.
.
Pada suatu
siang saat Bang Kumis sedang menyeruput kopi di warung pojok,
datanglah serang laki-laki tampan mengendarai sepeda motor. Lelaki yang dempal
itu turun lalu menghampiri beberapa pemuda yang sedang asyik mengobrol di teras
warung. Setelah melepas helm, ia kemudian menanyakan rumah salah seorang warga
desa itu.
”Maaf, numpang
tanya! Rumah Mas Ipin mana, ya?” tanya lelaki itu.
Para pemuda itu
tampak asing dengan nama itu. Mereka saling bertanya kepada yang lain tentang
nama itu. Ternyata mereka tidak mengenal nama tersebut.
”Nama
lengkapnya siapa, Mas?” seorang pemuda balik bertanya kepada lelaki tampan
tersebut.
”Kalau tidak
salah namanya Arifin,” jawabnya.
Mendengar
sebutan nama itu, Bang Kumis pun keluar dari dalam warung. Ia meninggalkan
secangkir kopi yang masih separo di meja warung.
Bang Kumis
mengamati lelaki yang masih berdiri di depan teras warung. Dari rambut hingga
ujung kaki ia pelototi. Dari wajah lelaki itu, ia mengingat salah seorang teman
sekolahnya lima belas tahun silam.
”Bapak ini,
namanya Ahmad, ya?” tanya Bang Kumis.
”Iya. Mas, kok,
tahu?”
”Saya ini
Arifin yang Mas cari!” kata Bang Kumis sambil merangkul lelaki itu.
Kedua lelaki
yang sudah terpisah sejak lima belas tahun lalu itu pun berangkulan melepas
rasa rindu yang mendalam. Sampai-sampai Bang Kumis terasa grogi berbicara dengan
Ahmad karena terharu. Para pemuda yang duduk di teras warung pun clingukan dan
kaget ternyata Bang Kumis itu bernama asli Arifin. Maklum, mereka terbiasa
memanggil dengan sebutan Bang Kumis karena kumis tebal Arifin. Tanpa komando,
Bang Kumis pun mengajak Ahmad ke rumahnya.
”Kamu nanti
jangan kaget saat melihat gubuk saya!”
”Kenapa harus
kaget? Kamu kan seorang pemborong? Jelas rumahmu megah dan mewah.”
”Itu dulu.
Semua telah berubah. Nanti aku ceritakan.”
Dua sepeda
motor pun melaju membawa dua orang yang digandrungi rasa senang. Mereka tak mengira Tuhan masih
mempertemukan kedua lelaki yang sempat berpisah selama itu. Ahmad penasaran
dengan perkataan Bang Kumis barusan.
.
.
.
.
.
Sesampai di
ujung desa, sepeda motor yang mereka kendarai melewati jalan setapak yang
licin. Roda belakangnya memutar tak mampu menggerakkan bodi motornya. Bang
Kumis terpaksa turun lalu mendorong sepeda motor Ahmad. Tepat di depan rumah
mungil berdinding bambu mereka berhenti.
”Inilah rumahku
yang kutempati sekarang ini. Pasti kamu kaget, kan?!”
Ahmad diam tak
mampu berkata apa-apa. Ia merasa perihatin melihat tempat tinggal teman
akrabnya sewaktu sekolah dulu.
”Bu, ada tamu.
Ayo masuk!”
Julaiha muncul
dari dalam rumah.
“Ini Ahmad,
teman sekolahku dulu,” kata Bang Kumis memperkenalkan Ahmad pada istrinya. Si
Julaiha pun mengangguk sopan.
.
.
.
.
.
Angin semilir
yang menyelinap lewat celah dan lobang dinding rumah merontokkan daun-daun
renik dari atas genting. Daun-daun itu luruh dan mengotori meja tamu. Bang
kumis bergegas mengambil lap lalu menyingkirkan kotoran itu. Bola mata Ahmad
berkeliling memandangi kondisi rumah temannya. Dalam hatinya ia tak tega
membiarkan temannya menempati rumah seperti itu. Akan tetapi, kalau dilihat
dari wajah Bang Kumis dan istrinya, tak ada sedikit pun ada rasa risih tinggal
di rumah seperti itu. Ia begitu senang dan bahagia.
Sesaat suasana
hening. Kedua lelaki itu diam membisu di ruang tamu. Mata Ahmad tiada henti melihat
kondisi rumah Arifin tidak seperti yang ia dengar dari temannya dulu. Kata
temannya bahwa Arifin sekarang jadi pemborong bangunan yang sukses. Ia
menempati rumah mewah dengan perabot rumah yang serba wah. Kini
yang ia lihat sebaliknya. Dalam hati kecil ia ingin bertanya kepada Arifin
tetapi dia juga kuatir jangan-jangan pertanyaannya nanti menyinggung
perasaan temannya. Akhirnya ia pun memilih diam tidak mengeluarkan sepatah kata pun dari
mulutnya.
.
.
.
.
.
“Pasti kamu
heran kenapa saya tinggal di rumah seperti ini?” celetuk Bang Kumis akan
mengawali cerita.
”Tidak, tidak. Saya tidak
heran,” sahutnya gugup.
“Ceritanya
panjang,” imbuhnya.
Tanpa ada
permintaan dari Ahmad, Bang Kumis kemudian bercerita kepada Ahmad tentang
perjalanan bisnisnya dari zero to hero sampai hero to
zero seperti yang ia alami sekarang ini.
Perjalanan
bisnis Bang Kumis sebagai pemborong bangunan pernah mencapai masa keemasan.
Puluhan bahkan ratusan warga memanfaatkan jasanya guna memborong bangunan rumah
atau yang bangunan lainnya. Pada masa jayanya ia pernah mendapatkan penghasilan
dari pekerjaannya itu hingga 200 juta rupiah pertahun. Nah, uang dari hasil
kerja kerasnya itu kemudian ia gunakan untuk membuat rumah megah dengan perabot
rumah yang lengkap. Ia juga membeli beberapa bidang tanah di desanya. Mobil kinclongyang
menyilaukan mata jika terkena sinar matahari pun ia miliki. Namun sayang seribu
sayang ia hanya menikmati masa emas itu selama dua tahun.
.
.
.
.
.
Menjelang tahun
berikutnya, bisnisnya terkena prahara kebangkrutan yang luar biasa. Krisis
ekonomi pada tahun 1997 hingga 1998 menjadi biang kehancuran bisnisnya.
Sendi-sendi ekonominya bertumbangan karena kenaikan harga bahan bangunan yang
di luar batas kewajaran.
Pada tahun itu
ia sudah terlanjur meneken kontrak dengan beberapa konsumen. Dari perjanjian
kontrak Bang Kumis sudah menerima uang muka dari nilai bangunan yang diborong
dengan harga sebelum ada kenaikan harga bahan bangunan. Maka ketika krisis
ekonomi dan moneter melanda Indonesia, ia harus mengerjakan bangunan itu dengan
harga baru yang naik berlipat ganda. Ia mencontohkan ketika dia menggarap
bangunan Pak Rizal dengan kontrak senilai 14 juta rupiah sebelum krisis
ekonomi. Saat krisis ekonomi melanda dan harga bahan bangunan naik, dia harus
mengeluarkan biaya hingga mencapai 40 juta rupiah. Dari dsampak kenaikan harga
bahan bangunan itu dia harus merugi hingga 360 juta rupiah. Nilai uang yang
sangat besar pada saat itu.
Maka dengan
segala risiko dia harus menanggung semua kerugian dengan menjual harta kekayaan
yang ia miliki untuk menutupi kekurangannya. Rumah megah beserta isinya,
beberapa bidang tanah yang ia miliki, serta mobil mewah, ia jual semua dengan
harga yang sangat murah. Ia tak berpikir panjang tentang harga. Yang penting
barang yang akan dijual itu laku. Beres.
.
.
.
.
.
Bertahun-tahun lamanya
mereka hidup terlunta-lunta. Mereka tak mempunyai sebidang tanah pun untuk
mendirikan rumah ala kadarnya. Ia pindah rumah kesana kemari. Itu pun bukan
rumah hak milik melainkan rumah familinya yang iba kepadanya dan hanya
ditempati untuk sementara. Jika dihitung sampai sekarang Bang Kumis dan
keluarga sudah pindah rumah empat kali. Mereka juga pernah hidup dengan
uang pinjaman selama dua tahun lebih. Bang Kumis belum mendapatkan pekerjaan.
Para tetangga dan masyarakat jugaewuh pakewuh memberi pekerjaan
kepadanya karena ia mantan pemborong bangunan yang sukses. Ia tidak berhenti di
situ. Mereka tetap tegar dan bisa tersenyum saat menghadapi cobaan hidup yang
sangat dasyat. Ia yakin bahwa penderitaan pasti ada akhirnya.
Bang Kumis
tergolong orang yang pantang menyerah. Selama nyawa masih dikandung badan, ia
akan tetap berusaha untuk mencari jalan keluar dari prahara ekonomi yang ia
alami beserta keluarga. Bang Kumis bekerja serabutan. Ia membantu tetangga atau
warga lainnya memelihara dan merawat ikan di tambak. Hasil yang ia dapatkan
digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan sebagian lagi disisihkan sebagai
tabungan untuk biaya hidup di hari depan.
Lambat laun ia
bangkit dari keterpurukan. Bang Kumis sudah bisa membeli sebidang tanah di
ujung desa. Kemudian ia bisa mendirikan bangunan rumah ala kadarnya yang kini
ia tempati bersama istri dan kedua anaknya. Ia juga menjadi tangan kanan
seorang juragan tambak di desanya. Ia diberi kepercayaan khusus untuk
mengelolanya. Dari pengalamannya itu akhirnya ia memberanikan diri untuk
menyewa tambak dan dikelola sendiri.
Ahmad meratap
iba mendengar cerita dari Bang Kumis. Hati kecilnya menangis mendengar
kisah perjalanan hidup teman karibnya. Ia tak membayangkan Bang Kumis mengalami
kerumitan hidup seperti itu. Ahmad tak menyadari kalau rasa ibanya kepada Bang
Kumis sampai menitikkan air mata. Ia merunduk dan salut atas kesabaran dan
ketabahan dari temannya.
.
.
.
.
.
Ucapan salam
dari anak-anak Bang Kumis mengagetkan Ahmad. Ia mendongakkan wajah dan melihat
dua bocah yang berseragam sekolah sambil memanggul tas di punggungnya berdiri
lantas masuk rumah kemudian menjabat tangan ayahandanya yang hebat. Kedua anak
yang duduk di bangku kelas 5 dan 2 SD itu masuk ke ruang tengah lalu bersungkem
kepada ibunya yang menyeduh kopi untuk suaminya tercinta.
Dua bocah polos
yang sudah merasakan peliknya kehidupan yang dialami orang tuanya. Mereka
mestinya belum saatnya hidup di tengah badai ekonomi keluarga. Akan tatapi
rupanya mereka sudah terbiasa tinggal di rumah yang dinding-dindingnya
bolong dan tata letak rak pakaian dan buku yang tak beraturan.
Kumandang azan
dhuhur menggema dari masjid jamik. Para warga yang baru pulang bertambak
berbenah diri untuk mendatangi panggilan Tuhan Yang Mahasuci. Tak terkecuali
Bang Kumis dan Ahmad. Mereka bergegas menuju Masjid meninggalkan dua cangkir
kopi yang belum habis di atas meja. Kepulan asap kopinya membawa aroma sedap
terbang menyelinap dari celah dinding dan atap rumah mungil di pinggir jalan
setapak.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Cerpen karya Ahmad Zaini
.
.
.
.
.
.
.
.