Beberapa
menit setelah memimpin Sidang Paripurna, dini hari tanggal 31 Maret 2012, Ketua
DPR Marzuki Ali bersalam-salaman dengan anggota DPR peserta sidang paripurna.
Salah satunya dengan anggota DPR dari PKS. Sempat terdengar kata-kata
“informal” Marzuki Ali. Mungkin dia tak merasa kalau suaranya masih terdengar.
Atau bisa jadi, dia lupa mematikan mikrofon di depannya.
Dalam
kata-kata yang tidak terlalu jelas, antara lain Marzuki Ali mempertanyakan
sikap wakil-wakil PKS di DPR. Kalau tidak salah kalimatnya sebagai berikut:
“Bagaimana ini PKS? Katanya koalisi?”
Dalam
kacamata Marzuki Ali, kalau PKS ikut koalisi, ya seharusnya selalu
seiring-sejalan dengan Partai Demokrat, seperti model “partai-partai pecundang”
PAN, PKB, dan PPP. Kalau Demokrat setuju BBM naik, PKS ya harus cukup berkata:
“Amin amin amin.” Ya intinya, PKS harus mau memegangi ekor Partai Demokrat,
bagaimanapun partai itu melakukan atraksi “goyang ngebor”.
Oleh
para politisi, pengamat, media, akademisi, dan seterusnya, sikap berbeda
pandangan dengan mitra koalisi, seakan merupakan perkara HARAM. Mereka sering menyebut
PKS memainkan politik “dua kaki”. Satu kaki di koalisi, satu kaki ikut arus
anti pemerintah SBY. Mereka menyebut langkah PKS itu sebagai oportunis, plin
plan, dan seterusnya.
Ruhut
Sitompul menyebut PKS sebagai pengkhianat. Begitu juga banyak politisi
(terutama dari kalangan pecundang seperti PAN, PKB, dan PPP) mendesak agar
kursi kementrian yang diduduki wakil-wakil PKS “dilelang” untuk wakil-wakil
koalisi non PKS.
Di sini ada beberapa catatan menarik.
Pengertian
kita tentang “kabinet koalisi” ternyata sangat primitif. Seakan kalau partai
penguasa bersikap A, semua partai peserta koalisi harus bersikap A. Mari kita
ambil contoh.
Misalnya
partai penguasa menggulirkan program “kenaikan harga kaos dalam”. Maka partai
pendukung yang berbasis nasionalis harus berteriak, “Kenaikan harga kaos dalam
berguna bagi nusa dan bangsa.” Lalu partai yang berbasis Muslim tradisional
harus berteriak, “Kenaikan harga kaos dalam barokah, makbul. Amin amin amin…”
Lain lagi partai yang berbasis Muslim gak jelas, dia berdalih, “Kenaikan harga
kaos dalam demi kemaslahatan Ummat.” Ya begitu deh…apapun omongan penguasa,
partai pendukung (baca: yang diberi jatah kursi menteri) harus mengaminkan,
tanpa reserve.
Kalau
misalnya partai peserta koalisi tidak boleh berbeda pendapat, karena mereka
sudah “diberi imbalan” kursi menteri, mengapa tidak sekalian saja partai-partai
itu dibubarkan, lalu dibentuk satu partai induk? Iya kan. Logikanya kan seperti
itu. Kalau partai seperti PKS tidak boleh beda pendapat, dan harus sama seperti
Demokrat, PAN, PKB, dan PPP; ya sudah saja dibentuk partai baru yang namanya: Partai
Demokrat Amanat Nasional Kebangkitan Bangsa Persatuan Pembangunan (PDANKBPP).
Aneh
sekali, apakah ada satu rumusan hukum, baik secara legal formal maupun UU
politik, yang melarang anggota partai koalisi berbeda pandangan dengan partai
penguasa (induk)? Apa ada aturan seperti itu? Kalau ada, mohon Anda sebutkan!
Adalah
merupakan sikap politik OTORITER atau TIRANI ketika wajah politik itu harus
sama dan homogen, apapun kenyataan, dalil, dan strategi politik yang
berkembang. Ini sikap politik yang kaku, kalau tidak disebut MONOPOLITIK.
Lebih
aneh lagi, ialah ketika partai induk pendukung pemerintah (misalnya Partai Demokrat)
menjadikan “jatah kursi menteri” sebagai alat untuk membungkam apsirasi politik
partai-partai lain. Ini sangat aneh. Apalagi ketika kebijakan pemerintah
seperti itu terbukti secara sah, faktual, dan meyakinkan, banyak menyengsarakan
masyarakat.
Jatah
menteri bagi sebuah partai tentu sangat menguntungkan, tetapi kalau jatah itu
dipakai untuk membelenggu suatu partai; wah betapa mahal harga yang harus
dibayar partai-partai tersebut. Jatah kursi itu bisa menjadi bentuk “penyuapan”
politik.
Sebagai
perbandingan, dulu di era tahun 1955-an, partai sosialis (PSI) berkoalisi
dengan Masyumi. Secara politik mereka punya pandangan yang mirip-mirip,
meskipun dalam ideologi dan kebijakan partai berbeda-beda. Dalam sejarah
politik kita, baik Masyumi maupun PSI tidak dikenal selalu seiya-sekata,
seiring-sejalan. Tidak begitu. Mereka juga berselisih, berbeda, atau saling
beradu argumentasi.
Kalau
kita melihat realitas politik di negara-negara demokrasi murni (non Amerika)
seperti Jerman, Belanda, atau India; sistem koalisi juga tidak seekstrim itu.
Perbedaan-perbedaan setiap partai tetap diterima.
Kondisi
politik di Indonesia sangat kebangetan. Disebut modern
ya tidak, disebut maju ya belum, disebut aneh ya memang aneh. Kalau
digambarkan, Partai Demokrat duduk sebagai “raja” di singgasana kekuasaan,
karena mereka sebagai partai pemenang. Lalu PAN, PKB, dan PPP menjadi “abdi
dalem” yang harus mengikuti setiap gerakan sang raja (Partai Demokrat).
Kalau
raja angkat tangan, abdi dalem angkat tangan. Kalau kalau raja angkat kaki,
abdi dalem ikut angkat kaki. Kalau raja duduk, abdi dalem ikut duduk. Kalau
raja nungging, abdi dalem ikut nungging. Kalau raja guling-guling, abdi dalem
ikut juga. Kalau raja tertawa, abdi dalem ikut tertawa; kalau raja berhenti
tertawa, dengan terpaksa abdi dalem harus cepat-cepat menahan otot rahangnya,
agar tidak terdengar bunyi ketawa.
Bentuk
“peribadahan politik” seperti ini “ada pahalanya”, yaitu mendapat jatah kursi
menteri. Kalau ada yang bersikap aneh atau mau neko-neko, seketika diancam:
“Hei Lo, mau ngapain? Mau dipecat dari menteri ya?”
Nah,
politik “peribadahan” seperti itu yang dipuji-puji oleh banyak kalangan
akademisi, politisi, media massa, pengamat, tokoh sosial sebagai model politik
beradab. Ya sayang sekali memang. Ternyata, politik kita masih PRIMITIF.